Sebagai makhluk tuhan yang beragama, saya percaya dan mengimani bahwa Tuhan itu ada dan Dia-lah zat yang maha kuasa lagi maha sempurna. Memang sulit dijelaskan dengan logika bila harus mengupas tentang detail sosok Tuhan tersebut dan alasan mengapa harus percaya pada Tuhan padahal secara harfiah Dia tidak berwujud dan tak terlihat. Namun sekali lagi, bila berbicara tentang keimanan seseorang, logika tak kan mampu lagi bekerja. Dalam hal mengimani keberadaan tuhan, saya hanya berpedoman pada kitab suci al-quran dan hadist. Dijelaskan bahwa Tuhan (Allah SWT) itu wujud yang berarti ada (Medy, 2005). Jadi mustahil kalau saya sampai mengganggap bahwa Tuhan itu tidak ada.
Meskipun indera penglihatan tidak dapat melihat-Nya, namun saya masih bisa merasakan ciptaanNya dan adanya bumi, alam semesta dan pergerakannya inilah yang menjadi salah satu bukti tentang keberadaan Tuhan itu sendiri. Bahwa tanpa Tuhan sebagai pengendali alam semesta ini, mustahil bila bumi, matahari dan benda – benda langit lainnya akan berputar pada garis edarnya begitu juga dengan pergantian antara malam dan siang dimana malam akan datang sebelum siang mendahuluinya. Saya meyakini keberadaan Tuhan seperti saya meyakini benda- benda tak terlihat lain seperti molekul, gelombang radio maupun electromagnet dan benda-benda langit yang jaraknya milyaran hingga triliunan cahaya. Mereka ada, namun panca indera manusialah yang terbatas, sehingga tidak mengetahui keberadaanya. Dan bagaimana saya sampai sekarang bisa ikhlas menyembah Allah SWT karena semata-mata saya percaya bahwa Allah SWT itu ada.
Berbicara tentang Tuhan, tentunya tak lepas dari peran agama sebagai sarana untuk lebih mengenal siapa Tuhan sesungguhnya melalui konsep Tuhan yang ada didalamnya. Tuhan menurut definisi yang saya yakini adalah Dia yang Esa (hanya satu-satunya) dan bukan terdiri dari suatu susunan pangkat dewa-dewa mulai dari raja Dewa sebagai Dewa yang tertinggi, maupun Dewa yang terendah seperti yang dinyatakan oleh Taylor selaku bapak Antropologi yang mengemukakan teori tentang jiwa (Moeis, S.,2008). Selain itu, Dia adalah pencipta yang maha kuasa lagi maha tahu dan juga penentu takdir dan hakim alam semesta.
Adapun konsep ketuhanan yang saya yakini adalah yang tidak membatasi suatu kelompok tertentu dan seruan Tuhan menyeluruh untuk semua manusia pada persamaan dan persaudaraan tanpa peduli ras, agama dan latar belakang. Konsep Tuhan yang dibawa oleh agama bukanlah produk dari nenek moyang manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi seperti pendapat Freud dan Durkheim (Putranto, H., 2007). Mengapa demikian? Menurut saya, ketika kita telah meletakan keimanan kepada Tuhan berarti kita telah meyakini kebenaran yang datang dariNya. Dan karena saya seorang muslim, saya meyakini kebenaran hanya datang dari Allah SWT yang disampaikan lewat utusannya yaitu Rasululah SAW dimana kebenaran tersebut bukanlah versi pemikiran manusia atau warisan nenek moyang. Saya juga meyakini bahwa Tuhan itu maha sempurna, Dia telah merancang alur kehidupan manusia sedemikian rupa dan membuat konsep etika yang kita kenal sebagai akhlak yang telah ditetapkan untuk menjadi pedoman dalam perilaku kehidupan umat manusia untuk mengarungi fenomena dan keanekaragaman realitas.
Lantas, bagaimanakah saya menangkap kehadiran Tuhan itu sendiri? Secara harfiah memang tidak secara langsung berpapasan ataupun berjabat tangan untuk merasakan kehadiran Tuhan. Namun, perlu diingat bahwa Tuhan telah mengaruniai hati yang dapat digunakan untuk merasakan kehadiranNya dan melalui hati inilah, sebenarnya kita dapat merasakan, melihat dan mendengar apa yang tidak dirasakan, dilihat dan didengar oleh panca indera. Dan dengan mengaktifkan fungsi hati ini, saya bisa merasakan nikmatnya berkenalan dan berdialog dengan Tuhan ketika hati ini benar-benar terfokus padanya. Kehadiran Tuhan sangat nyata bagi saya. Dia selalu menyapa dan mengingatkan untuk selalu berbuat kebaikan demi keselamatan saya baik di dunia maupun di akhirat.
Sekali lagi memang wujudnya tak tampak, namun seruan dan ajakan yang selalu mengajak untuk berjalan di jalan yang benar menjadi bukti bahwa Dia selalu hadir dalam setiap detik langkah perjalanan hidup ini dan terus mengawasi hambaNya sebagai wujud cinta dan kasihNya. Sebuah refleksi bahwa jangan sampai kita menjadikan akal kita sebagai raja dan hati sebagai pengawalnya, karena apabila hati ini tertutup bercak hitam maka kita tidak akan mampu mengenal Tuhan dan hal tersebut akan membuat jiwa semakin kosong tanpa arah dan tujuan yang jelas seiring dengan rohani ketuhanan yang semakin kering dan mengikis.
Daftar Pustaka
Moeis, S. (2008). Religi sebagai salah satu identitas budaya (Tinjauan antropologis terhadap unsur kepercayaan dalam masyarakat) (makalah, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia). Diunduh tanggal 6 Desember 2011 dari http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/195903051989011-SYARIF_MOEIS/MAKALAH__9.pdf
Medy. (2005, Desember 24). Wahdatul wujud vs pantheisme [Web log post]. Diunduh tanggal 6 Desember 2011 dari http://herdiana.blog.com/tag/about-tuhan/
Putranto, H. (2007, Februari 6). Peran agama dalam arena dunia modern: tercampak atau hadir kembali? [Web log post]. Diunduh tanggal 6 Desember 2011 dari http://hendar2006.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal